Cerita Seorang Anak Kecil Bernama Diva dan Seekor Kucing

Cerita Seorang Anak Kecil Bernama Diva dan Seekor Kucing
Kredit : canva.com

Namanya Nadiva Salsabila Marwa. Saban hari selalu terdengar tangis dari bibirnya yang mungil. Ketika bangun tidur tak didapati sosok ibu di sampingnya, ketika teguran keras dan cubitan tangan ditimpakan kepadanya. Gadis sekecil itu belum pantas dihukum benar atau salah menurut pertimbangan kepala manusia dewasa. Belum. Suara tangisnya lengking menerjang telinga, mengagetkan siapa saja yang tidur pulas di sekitarnya.

“Diam !” Pinta ibunya setengah membentak.

Sesekali ia menempel erat dalam gendongan sang ibu. Pipinya bergerak lamban menahan bibir yang menjepit sedotan buah dada kehidupan miliknya-dia gemar menyusu.

Di sampingnya berserakan beragam mainan. Dua boneka miliknya; Gajah berwarna biru dan Beruang berwarna pink. Ada juga beberapa replika mainan lain. Bola kecil aneka warna yang ketika dilemparkan tak sampai menyentuh dinding dan gagal memantul, gajah mungil bersayap dari bahan plastik. 

Kedua sayap gajah itu hanya mengepak-ngepak menuruti instruksi tangan yang mendorongnya. Mainan yang aneh menurutku karena menyalahi fungsi sayapnya yang tak pernah terbang. Tapi baginya bunyi yang ditimbulkan dari sepasang sayap itu adalah sumber kebahagiaan yang menimbulkan tawa cekikikan.

“Pus… pus…,” Aku coba menghibur dan meredakan tangisnya. Dua lahan pipinya basah. Ia menjerit ditinggalkan ibunya yang sibuk memasak di dapur.

“Sana main sama, om,” suara itu berasal dari dapur menyertai aroma sedap menyengat dari penggorengan.

“Ayo sama, om,” aku mengajak dan menyambut rentangan dua buah tangannya. Tangisnya masih sesenggukan.

Aku keluar melalui pintu depan. Memanggil kucing yang baru saja melahirkan dan suka mencuri sisa ikan dari tong sampah penampungan.

Pernah suatu ketika binatang kecil itu tertangkap basah mencuri ikan yang dicengkeram erat oleh gigi-giginya yang tak pernah dibersihkan. Oleh temanku ia dipukul menggunakan sapu sebelum kemudian lari gagal mempertahan mangsa satu-satunya.

“Puh, puh….” Diva mengikutiku. Menirukan suaraku memanggil kucing betina belang itu.

Panggilan demi panggilan antara aku dan Diva bergantian. Ia tak juga muncul. Mungkin rasa takut terhadap manusia mengalahkan segalanya termasuk juga rasa lapar. Jika bukan karena insting keibuan dan tuntutan perut yang memaksa, kucing itu tak kan pernah berani mencuri. Maka sungguh keterlaluan jika manusia berkecukupan seperti para pejabat masih mencuri uang rakyat untuk memenuhi hajatnya menumpuk materi.

Di sini para kucing kehilangan gairahnya untuk memburu tikus. Sudah terlalu mainstream membunuh sebangsa sendiri, sebangsa hewan sekalipun berlain jenis karena mereka sekawanan tikus. Dari gelagat interaksi sosial mereka yang individualis terlihat jelas bahwa rivalitas turun-temurun warisan nenek moyang di antara keduanya perlahan memudar. 

Lagipula bentuk badan tikus yang kurus tak berdaging sama sekali tak menarik minat kucing mana pun. Hewan pengerat itu kehilangan mata pencaharian. Maklum karena di pinggiran kota ini tak satu pun lahan padi dapat ditemukan sebagai bahan makanan pokok. Bahkan anak kecil yang gemar bermain kehilangan tempatnya bermain. Pembangunan gedung-gedung congkak untuk kepentingan umum dengan beragam maksud dan tujuannya telah mempersempit ruang gerak anak kecil yang lucu dan menggemaskan itu.

***

Setelah hilir mudik lelah mencari. Di pinngir sungai depan kontrakan aku duduk dengan Diva di pangkuan. Harapan belum surut menunggu kucing itu muncul dari arah tak terduga. Di suatu jarak seekor kucing hitam sedang tidur nyenyak di bawah pohon. Seekor pejantan, gemuk, ekornya panjang. Beberapa kali ia menguap. Wajah dan postur tubuhnya yang montok menandakan hidupnya yang malas dan tak pernah olahraga.

Dalam beberapa kesempatan ia terlihat tengah asyik berduaan dengan kucing yang sedang kami cari. Mungkin kucing itu yang telah membuntingi si betina. Menanamkan benih di dalam rahim lalu kemudian pergi tanpa beban tanggung jawab untuk menafkahi janin dalam perut betinanya. Persis apa yang dilakukan manusia kebanyakan sekarang. Asal punya cinta dan suka sama suka tak perlu menikah. Buang-buang biaya untuk ongkos penghulu dan pergi ke KUA. 

Ini dapat dipahami karena biaya yang dikeluarkan untuk perhelatan sakral sepanjang hayat ini memang tidak sedikit.  Akibat dari hubungan ilegal ini adalah aborsi. Bayi-bayi tak berdosa dibuang di sembarang tempat. Kisah Nabi Musa yang dihanyutkan ke sungai Nil menginspirasi ibu-ibu tak bertanggung jawab ini untuk ikut menghanyutkan anaknya. Bukan karena demi keselamatan tapi demi menutupi kesalahan yang diperbuatnya. 

Jika tidak di sungai mereka melakukannya menggunakan cara yang lebih halus dengan cara meletakkannya di pinggir jalan, membungkusnya dengan dus baik dalam keadaan bernyawa atau pun sudah meninggal dunia. Ironis dan tidak manusiawi. Ibu mana yang tega membuang atau membunuh darah dagingnya sendiri? Sementara kucing se-binatang apapun mereka rela mencuri makanan untuk anak-anaknya.

***

“Puh… puh… ,” tangan Diva menuding.

Kucing itu melesat cepat dari pintu kontrakan tak sedikit pun mempedulikan kami yang sedari tadi menunggu kehadirannya.

“Om. Tangkap kucingnya,” teriak mba Tia, ibunya Diva dari kejauhan. Tangan kirinya memegangi sapu lidi. Senjata pamungkas untuk melawan sang kucing.

Keempat kakinya gesit. Ia lari seribu langkah mengamankan ikan tangkapan untuk makan anak-anaknya, tubuhnya lenyap di tikungan Gang. Melihat itu Diva meronta-ronta, wajahnya dibenamkan ke dadaku. Ia kegirangan melihat seekor kucing kesayangannya melintas sekejap mata.

Malang, Enam tahun yang lalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *